JAKARTA - Menonton pementasan lakon dalam panggung teater politik kontemporer Indonesia dewasa ini, senantiasa tersuguhkan banyak kejutan dan anomali. Keduanya merupakan tombak dan unsur penting dalam teater yang disebut drama, dan daripadanya terlahirkan sensasi. Dan sensasi itu adalah bumbu penyedap dunia politik. Intinya penuh kejutan. Salah satunya maraknya narasi seragam politisi selalu berucap: “reshuffle itu hak prerogative presiden”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hak prerogative dapat didefinisikan sebagai kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, serta wewenang menurut hukum. Tegasnya, prerogatif adalah hak istimewa yang dimiliki kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan.
Faktanya, ketika mengumumkan pergantian menteri atau reshuffle, Rabu pahing (15/06/2022), presiden harus lebih dahulu membahasnya bersama pimpinan parpol anggota koalisi. Lantaran terikat hukum besi komitmen koalisi. Inilah harga mahal yang harus dibayar presiden yang bukan pemegang saham mayoritas suara parlemen di Senayan. Dapat diartikan hak prerogative itu sudah migrasi ke tempat lain.
Pasalnya, sumber mata air legitimasi kekuasaan formal presiden Jokowi untuk mengambil keputusan-keputusan diperoleh lewat tiket koalisi hasil “patungan” banyak parpol. Ini konsekwensi pemerintahan sistem presidensial hasil Pemilu multi partai. Implementasi konsesus itu memaksa presiden tersandera bagaikan “burung dalam sangkar emas” analogi yang dibaca sebagai konsekwensi koalisi gemuk.
Situasi dan kondisi faktual tersebut menjadi dilematis. Presiden diniscayakan bertindak cepat untuk mengatasi meletupnya konflik horizontal maupun vertikal di tengah kompleksitas problematika strategis bangsa. Hal mana memerlukan tindakan-tindakan esktra alias “out of the box” persegera.
Sekali lagi inilah harga yang harus ditebus kepempinan yang dihasilkan koalisi gemuk yang umum dikenal “simple mayority” (mayoritas sederhana).
Dominasi partai politik akibat distribusi kekuasaan seperti sekarang ini, merintangi implementasi hak prerogative presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai garda terdepan berhadapan reaksi kekecewaan masyarakat atas rendahnya kualitas kinerja pemerintah. Konsekwensinya terjadilah drama teater politik yang diekspresikan presiden secara dramatis melalui dua bentuk kerja nyata.
Pertama, presiden harus blusukan menemui rakyat (terkadang di malam buta) sambil melempar hadiah baju kaos dari mobil. Yang kedua memaki-maki kinerja para pembantunya secara terbuka yang viral di kanal “Youtube Sekneg”.
Pesan itu penting dikirim terbuka kepada rakyat. Dramatisasi akumulasi kasus rendahnya kinerja para menteri, mendorong menguatnya narasi reshuffle yang turut digaungkan akar rumput. Presiden bersama akar rumput “head to head” dengan keperkasaan para punggawa partai politik.
Dalam penantian hari – hari reshuffle ekspektasi publik yang tinggi menjadi teka – teki silang: seperti apakah keputusan final reshuffle kabinet yang dilakukan pada hari Rabu Pahing (15/06/2022). Hari itu dipilih menurut isu yang viral di medsos – medsos disesuaikan dengan “weton” atau hari lahir presiden. Alasannya, sesuai dengan mitologi Jawa, agar bertuah dan tidak terbantahkan serta berhasil guna tinggi.
Mengutip Wikipedia, alkisah, weton itu adalah penanggalan atau perhitungan hari lahir seseorang, yang sering digunakan, sebagai patokan untuk merujuk ramalan tertentu. Menurut kepercayaan Jawa, weton bisa berkaitan dengan ramalan peristiwa tertentu.
Tapi “kesakralan” yang terjanjikan dalam mitos “sang weton” tidak terbukti. Publik telanjur mempercayai “sang weton” itu sebagai senjata pamungkas yang ampuh memangkas “lumut” politik yang mengotori kinerja kabinet. Tapi, hasilnya seperti bunyi iklan lama yang pernah populer tahun 70an, “tidak sesuai dengan warna aslinya”. Faktanya, hasil reshuffle tidak membawa pengaruh dan perubahan signifikan apa-apa sesuai obsesi publik.
Perasaan cemas publik yang trauma oleh keterpurukan ekonomi, akibat wabah pandemi plus segala bentuk derita mengikutinya, berlanjut terteror kenaikan harga bahan makanan. Lalu, diperparah kehadiran saudara kembar: raibnya minyak goreng dan melambung harga di pasar.
Sukar menyembunyikan munculnya bencana berwajah lain: publik kecewa berat kepada kinerja pembantu Presiden, yang berimbas kepada wibawa presiden.
Publik memang berbuat salah juga. Paling tidak, salah hitung. Telanjur membayangkan akan terbentuk formasi kabinet baru. Menjadi senjata pamungkas pemangkas kompleksitas persoalan ekonomi yang menindih rakyat. Apa yang terjadi? Penanggulangan pemulihan keterpurukan ekonomi di sektor hilir, tetap aja terbengkalai. Konsentrasi pejabat terkait lebih menguat pada intensitas kegiatan “menjual” diri terkait dengan kontestasi Capres 2024.
Kampanye politik “jual diri” tidak salah.
Tidak ada hukum dan peraturan yang dilanggar. Secara objektif, harus diakui besarnya perhatian presiden yang berkaitan dengan kebutuhan dan kesejahteraan rakyat cukup intensif. Hal itu dapat dibuktikan dari tingginya frekwensi kemarahan dan kekecewaan Jokowi terhadap kinerja pembantunya.
Mari kita sejenak membaca, Pembukaan atau preamble UUD 1945, isinya begini: “dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Terngiang dari lubuk hati cuplikan bait patriotik lagu “Garuda Pancasila” tertulis: “patriot proklamasi sedia berkorban untukmu”. Tetapi lagu yang diciptakan tahun 1956 itu, sepertinya saat ini sudah jarang terdengar. Tertimpa banjir budaya Korea: K-Pop yang digandrungi mayoritas milenial dan Gen-Z Indonesia. Lalu siapa yang bersalah?
Izinkan saya mengutip kembali penggalan dialog dalam naskah drama kelas dunia berjudul “Monserrat” karya Emmanuel Robbles :
“Satu –satunya kesalahan kalian, karena kalian tidak bersalah”.
Dari layar kaca televisi kumandang adzan subuh dimulai. Mengambil air wudhu secepatnya saya lakukan untuk mengurangi stres.
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
Jakarta, 18 Juni 2022
Zainal Bintang
Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya