Siti Jual Nasi Bungkus Sarapan Teman di Kampus

    Siti Jual Nasi Bungkus Sarapan Teman di Kampus

    BANDUNG - “Siapa lagi yang mau sarapan niiiiihh, ” tawaran yang keluar dari mulut  seorang gadis mungil kepada teman-temannya. 

    Itu yang  kudengar dan kulihat ketika  hendak  masuk kelas untuk mengajar pagi ini. Pengucapannya sangat khas dan menarik perhatian. kata  “niih” diucapkan sangat panjang, suaranya bocah banget.  

    Dan  ia selalu  tersenyum, membalut wajahnya yang putih sambil tangan kanannya bergerak perlahan kedepan  memberi makna hormat padaku dan itu terlihat manis bagi orang yang melihat.

    “Siti”  itulah nama mahasiswi semester dua,  
    ketika dipanggil oleh rekannya di kampus. hendak membeli nasi bungkus. Di-Usianya yang  masih belia, delapan belas tahun. Lalu, aku mendekatinya ketika usai kuliah. Untuk mencari tau tentang Siti. 

    Ia membawa seratus nasi bungkus setiap pagi 
    ketika hendak berangkat kuliah, dan itu habis, ” katanya senang.

    Nasi dengan menu sepotong tempe goreng, telur dadar serta sedikit sambel. dibungkus dengan kertas kecoklatan, dijual dengan harga empat ribu rupiah saja.

    “Berati kamu telah mengantongi empat ratus ribu rupiah donk?” tanyaku
    “Benar pak” katanya membenarkan, tapi juga terlihat agak ragu, tampak matanya berbinar menatapku.

    “Aku menjual sesuai dengan kantong mahasiswa kebanyakan, itupun ada yang ngutang  pak”, Katanya, wajahnya tertunduk ke lantai, lantai keramik warna putih yang mulai kusam  

    “Mungkin ekonominya beda tipis denganku, ” Katanya lagi  
    “Dibayar?” kataku memotong.  
    “terkadang tidak, hitung-hitung beramal, sedekah, ”katanya. 

    Rasa takjubku pada gadis mungil ini. Penghasilan yang relatif kecil itu masih dapat ia keluarkan untuk bersedekah.

    “Lalu, berapa kamu dapat?” 

    Matanya menatapku lagi, mungkin pertanyaan  sulit baginya untuk dijawab, mengingat ketika ia harus  bangun di malam hari, memasaknya.  
    kemudian, selesai subuh bergegas berangkat ke kampus sambil  menjinjing beban yang cukup berat dan jauh. Terkadang  harus berlari  kecil mengejar bis kota melalui halte yang dilaluinya. 

    Lama juga ia menjawabannya dan suara lirih itu akhirnya keluar juga.

    “Alhamdulillah, Sepertiganya pak, ” 

    Waktu kelas satu SMA dulu, aku rasakan, orang tuaku  sudah tidak mampu untuk menyekolahkanku, bahkan untuk hidup sehari-hari saja masih kekurangan. Boro-boro mikirin  untuk melanjutkan sekolah  ke perguruan tinggi , tak pernah terbayangkan. Karena diterima di negeri ” Katanya. 

    Bapak saya, bersikeras memintaku melanjutkan kuliah, walau bapak hanya sopir angkot. Aku paham penghasilan bapak, karena beberapa tahun terakhir ini jarang  membawa uang  kerumah, dan ibu  bekerja paruh waktu 
    menjadi pembantu  rumah tangga. 

    Terkadang,  rasa lapar  kutahan, tapi ketika malam menjelang tidur, semua masalah, aku curhat,  mengadu  pada Allah. Saat itu, Rasanya Allah begitu dekat, sedekat  urat leherku. Suasana seperti itu, bagaikan bicara langsung pada Allah sang pencipta semesta alam. Linangan air mata,  tak terbendungkan. Pasrah, ketika sujudku.  

    Aku menabung sedikit demi sedikit, alhamdulillah  aku telah berada disini 
    dan menjadi mahasiswa.” Matanya  berbinar, ia terdiam sejenak... lalu suaranya keluar lagi pelan dan kelu.

    “Ketika teman-temanku masih lelap tidur dengan selimutnya, aku bangun dan memasak hingga menjelang subuh. Makanan segar dan  hangat, itu pulalah kuncinya, makananku menjadi laku. Alhamdulillah”. Katanya. 

    Raut mukanya bersemangat, Terlebih senang hatinya ketika melihat temannya memakan nasi bungkus darinya dengan lahap di pojok ruangan. 

    “aku senang sekali” katanya , sorot matanya berbinar.
    “walau porsi nasinya tidaklah banyak. Tapi itulah sarapan pagi teman-temanku, Mungkin saja bermanfaat dan dapat membuat mereka semangat belajar, walau  kutahu tantangan kedepan  sangatlah berat. “Kenapa berat?” tanyaku antusias 

    Generasi Now, amatlah sulit mendapatkan pekerjaan pak , PHK di mana-mana. Toko dan  Mal  sudah mulai ada yang  tutup, penjaga pintu tol sudah tak terlihat lagi, penumpang bapak, yang menjadi riski kami, sering terlihat kosong , Apa itu seperti itu,  era revolusi industri 4.0 pak, ? tanyanya padaku.


    Hening sejenak, terbayang olehku saat sekarang ini, era dimana telah memasuki   digital ekonomi, online dan robotic, diperparah pula dengan  ramainya Hoak dan fitnah.

    ” Lalu apa tindakan kamu sebagai generasi millenial” kataku balik bertanya.

    ”Jualan aja pak, usaha sendiri, mencari hidup sendiri. Seperti bapak sampaikan ketika kuliah belajar bisnis, belajar berusaha sendiri untuk mandiri, jatuh bangun sesuatu yang menjadi kuat. Dan hasilnya dapat berbagi pada sesama, ” kata Siti, terburu-buru  pamit,  karena ada kuliah lain.

    Nuhun  Siti, .......  telah meluangkan waktu berbagi,  yang mungkin dapat menjadikan inspirasi bagi yang lain.

    Bandung

    Eddy Syarif

    Tukang Foto Keliling

    bandung siti eddy syarif
    Tony Rosyid

    Tony Rosyid

    Artikel Sebelumnya

    Az-zikra Herbal Milik M Jafar Audah Dilaporkan...

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hidayat Kampai: Nepo Baby, Privilege yang Jadi Tumpuan Kebijakan Publik?
    Pemerintah Indonesia Berhasil Menaikkan Pajak dan Menurunkan Subsidi, Menteri Keuangan Terbaiknya di Mana?
    Bimbingan Teknis Penyuluhan dan Pemberdayaan Petani di Lampung, Tingkatkan Pemahaman Digital dan Pendanaan Usaha
    Hidayat Kampai: Generasi Stroberi? Bukan, Kami Ini Generasi Guava yang Tangguh!

    Ikuti Kami