Ramadan, Bulan Sejarah Penuh Berkah untuk Tingkatkan Keimanan

    Ramadan, Bulan Sejarah Penuh Berkah untuk Tingkatkan Keimanan

    Blora - Bulan Ramadan diungkapkan sebagai bulan yang penuh rahmat, berkah, ampunan, istimewa, suka cita dan bulan yang penuh harapan.

    Namun bagi Ketua Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) Blora yang juga Sekda Blora, H. Bambang Sulistya, menambahkan Ramadan tahun 2022/1443 Hijriah adalah bulan penuh sejarah.

    Karena baru pertamakali sejak saya meninggalkan kampus biru 41 tahun yang lalu, di awal bulan Ramadan saya bisa mengikuti tarawih di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).

    "Suatu kesempatan yang langka dan istimewa karena baru Ramadan tahun ini dihadirkan pembicara kondang dan terkenal di Nusantara, ” kata Bambang Sulistya, Rabu (6/4/2022).

    Dijelaskannya, pembicara yang sudah tampil dan yang akan tampil mengisi tarawih masjid perjuangan di antaranya Panut Mulyono dengan tema Peran Universitas Kerakyatan Dalam Mengembangkan Tradisi Intektual Umat.

    Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dengan tema Titik Temu Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

    Kemudian KH. Lukman Hakim Saifuddin Menteri Agama RI tahun 2014-2019 menyampikan tema Urgensi Moralitas dan Intelektualitas dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

    H. Mochamad Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat dengan tema Perencanaan Pembangunan Nasional untuk Indonesia Berkemajuan.

    Selanjutnya, Ganjar Pranowo, Ketua Umum Kagama sekaligus saat ini Gubernur Jawa Tengah dengan tema yang disajikan, Menuju Efektifitas dan Efisien Birokrasi Indonesia.

    Anies Rasyd Baswedan, Gubernur DKI Jakarta tema Pengelolaan Kota Berbasis Environmetal Sustainability Dalam Prespektif Islam. Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan RI tema Restorasi Pendidikan Nasional Melalui Merdeka Belajar Kampus Merdeka.

    Sri Sultan Hamengkubuwono X, dengan tema Yoyakarta Untuk Indonesia. H. Sandiaga Salahuddin Uno Menteri Pariwisata dan Eonomi Kreatif RI dengan tema Pengutan Muslimpreneurship Berbasis Nilai Integritas dan Keimanan.

    Yahya Cholil Staqub Ketua Umum NU, menyamapaikan tema Pembudayaan Sikap Tasamah dan Ta'awun Sebagai modal Dasar Pembangunanan Bangsa. Kemudian, KH Muhammad Sirajudin Samsudin dengan tema Membangun Semangat Toleransi Untuk Penguatan Karakter Bangsa.

    Sementara itu mantan Sekda Blora  H. Bambang Sulistya, merasa kagum dan bangga karena hampir mayoritas jemaah yang jumlahnya lebih ratusan orang yang memenuhi masjid dua lantai merupakan generasi muda atau kelompok milenial.

    “Apalagi ketika saya mendengar tausiah Bapak Mahfud MD semua jemaah terliat  penuh perhatian, antusias dan suasana hening. Karena materi yang disampaikan selain menarik juga terungkap dan tersaji secara lugas, jelas, motivatif dan inspiratif, ”jelasnya.

    Mahfud MD, mengawali pembicaraan dengan ucapan, kita bersyukur hidup di alam Kemerdekaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Karena kita diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadan dalam suasana aman dan damai.

    Indonesia dibangun berfondasikan keberagaman. Negeri ini berdiri melalui kesepakatan suci para tokoh Bangsa yang berbeda latar belakang. Indonesia bukan Negara Agama sehingga tiada celah bagi siapapun untuk coba coba Indonesia menjadikan sebagai Negara Agama. Dan Pancasila adalah titik temu dari seluruh elemen Negara termasuk Islam.

    Mahfud MD menegaskan Indonesia bukan Negara Islam tapi Indonesia Negara Islami. Sifat-sifat keislaman tumbuh dan berkembang melaluhi budaya di antaranya melaluhi wayang dan Lebaran.

    Mendirikan Negara adalah ajaran Agama. Karena apa, dulu Nabi membuat Negara dan Negara diperlukan agar masyarakatnya bisa beragama dengan baik.

    Hanya saja kata Mahfud MD membentuk Negara seperti yang dilakukan Nabi kini tak lagi relevan. Karena Negara yang dibentuk oleh Nabi sumber hukumnya Allah SWT dan Nabi.

    “Kalau ada apa-apa ini hukumnya dari Allah dan Nabi. Ada peristiwa sesuatu Nabi yang memutuskan ini hukumnya. Nah sekarang nggak ada lagi Nabi. Oleh sebab itu sistem Negara yang dibentuk nggak boleh seperti Nabi, ” kata Mahfud MD.

    Apalagi kalau ada hal baru, misalnya masalah terorisme dan ITE itu tak ada dulu, sekarang kalau ada siapa yang membuat solusi tanya ke Nabi, Nabi sudah tidak ada, ke Allah, Allah sudah tidak lagi menurunkan wahyu, lalu Siapa ? Saat ini bentuk sistem Negara sesuai kebutuhan.

    Menurut  Mahfud, dari 67 Negara berpenduduk mayoritas beragama Islam tak satupun memakai sistem ketatanegaraan ala Nabi. Semisal Mesir atau Maroko dengan sistem presidensialnya, Malaysia dan Pakistan memakai parlementer, lalu keamiran Uni Emirat Arab dan sistem monarki absulut kerajaan Arab Saudi.

    Kemudian di Indonesia yang juga Negara yang mayoritas penduduk menganut agama Islam terbesar membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  berdasarkan Pancasila dan ijtihad para ulama.

    “Indonesia ini bukan Negara Islam tetapi Negara Islami. Islam kata sifat, sehingga sifat-sifat keislaman itu tumbuh dan berkembang di Indonesia melaluhi budaya. Lebaran itu Islam tapi lebaran gak ada dalam ajaran Agama Islam, ” jelasnya.

    Itu budaya ciptaan Sunan Bonang, karena kita membangun Budaya  Islami yang sesuai dengan Budaya Indonesia. Beliau juga menyampaikan makna dan filosofi ketupat.

    Bahan utama ketupat yakni nasi dan kelapa muda yang maknanya nasi dianggap sebagai lambang nafsu sedangkan daun berarti "jatining Nur" atau cahaya sejati yang dalam bahasa jawa artinya hati nurani.

    Sehingga ketupat sebagai simbul nafsu dan hati nurani. Artinya manusia harus bisa menahan nafsu dunia dengan hati nuraninya. Ketupat juga digunakan sebagai simbul pengakuan kepada Allah dan manusia.

    Tingkah laku ini sudah menjadi kebiasaan atau tradisi pada saat hari pertama syawal atau Idulfitri yang dimagnahi ketupat ngaku lepat (mengaku salah) atau ketupat diartikan laku papat yang terdiri dari empat tindakan, yaitu  Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan.

    Lebaran artinya lebar pintu permintaan maaf telah dibuka lebar lebar. Saat manusia mengampuni orang lain mereka menerima banyak berkah. Kata lebaran juga berarti bulan puasa telah usai dan dirayakan dengan makan ketupat.

    Sementara luberan artinya melimpah yang memberi pesan untuk membagi hartanya dengan orang yang kurang betuntung melaluhi amal. Selanjutnya leburan berarti saling memaafkan semua kesalahan semoga bisa dimaafkan pada hari itu.

    Karena umat manusia dituntut untuk saling memaafkan atas segala segala kesalahan dan dosa yang diperbuat sengaja maupun tidak sengaja.

    Terakhir labor, dalam bahasa laburan yang artinya orang suci dan bebas dari dosa manusia. Kesimpulan makna ketupat memberi pesan untuk selalu menjaga kejujuran hati yang dapat diimplementasikan baik dalam ucapan, sikap maupun tindakan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

    Demikian berbagai ungkapan positif yang disampaikan oleh Mahfud MD dalam ceramah tarawih dengan tema Titik Temu Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Masjid UGM.

    “Tentunya setelah mencermati esensi ceramah dari Bapak Mahfud MD saya jadi teringat betapa penting fucapan bapak Proklamator Ir Soekarno dalam pidatonya yang terakir pada ulang tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1996, yaitu Jangan sekali-kali meninggalkan Sejarah atau disingkat JAS MERAH, ” ucap Bambang Sulistya, yang juga mantan anggota DPRD Blora

    Hal itu karena dengan mempelajari sejarah kita dapat pelajaran yang berharga untuk menghadapi keadaan dan permasalahan saat ini, agar kita tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.

    “Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan 1443 H. Semoga inspirasi dan motivasi dari ceramah tarawih mampu meningkatan wawasan kebangsaan dan kwalitas keimanan kita, ”

    Tony Rosyid

    Tony Rosyid

    Artikel Sebelumnya

    Gubernur Jatim Pimpin Apel Bakti Pramuka...

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Merah Putih, Bukan Abu-Abu, Sekarang Saatnya Indonesia Berani Jadi Benar
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan dan Paradoks Kebijakan
    Hendri Kampai: Negara Gagal Ketika Rakyat Ditekan dan Oligarki Diberi Hak Istimewa
    Hendri Kampai: Pemimpin Inlander Selalu Bergantung pada Asing

    Ikuti Kami