Jalan Braga Bandung Menjelang Akhir Tahun 2020

    Jalan  Braga Bandung Menjelang Akhir Tahun 2020

    BANDUNG - Aku tidak mendapat parkir "Penuh" kata tukang parkir. Aku berhenti saja di belakang mobil-mobil yang parkir di pinggir jalan Braga. Tukang parkir menghampiriku "menunggu ya pak" tegasnya.
    "Ya" jawabku sambil mematikan mesin mobil, menunggu isteri ku yang sedang mengurus keperluannya di suatu Bank Daerah.

    Aku duduk dibelakang stir, sambil melihat ke arah seberang jalan. Mataku tertuju pada satu frame. Tiga gadis remaja asyik menikmati pengambilan gambar , seorang dari mereka memegang HP untuk mengambil gambar-gambar temannya yang duduk bersandar pada batu bulat terletak dipinggir trotoar, secara bergantian.

    Berjarak tiga meter, seorang pria setengah baya duduk sendiri di kursi sandar. Kursi-kursi dan bola-bola batu dicor semen itu ditata letaknya sepanjang trotoar yang ketinggiannya telah direndahkan separoh dari sebelumnya oleh seorang wali kota berlatar pendidikan arsitek.

    Kuperhatikan pria tengah baya itu, Ia bicara sendiri, mulutnya komat Kamit sambil kedua tangannya bergerak-gerak sejajar leher dan perut'nya. Bagaikan artis pantomim. Diam sebentar, matanya menerawang kearah awan bergerak dari gelap kian memutih, seperti warna yang telah melekat pada nya.

    Sementara tiga gadis remaja tak henti-hentinya  mengambil gambar dari berbagai pose. Sambil membenarkan letak kerudung dan bajunya, wajah ditegakkan diluruskan, dimiringkan ke kanan dan ke kiri berbagai ekspresi. Tanpa memperhatikan orang yang melihat di sekitarnya.

    Setengah jam sudah, tanpa konsep, tanpa teori
    tak terukur sisi fotografinya, seperti kebanyakan produk foto di sosial media.

    Teringat ketika mahasiswa  dulu. Belajar fotografi satu semester, kemudian berguru dengan seorang profesional yang cukup kondang di negeri ini. Juga beberapa tahun bergabung dengan komunitas fotografi. Aku lebih tertarik pada fotografi jurnalis dalam prinsip "Gambar yang bicara."

    Berbekal dari itu, diterima dalam beberapa produksi film layar lebar dan bekerja di program siaran TVRI .

    Aku tersentak melihat  pria muda setengah berlari kemudian berhenti  dan merogoh - rogoh isi tong sampah. Tak jauh dari pria tengah baya yang duduk di kursi sandar yang juga sedang asyik dengan fantasinya.

    Didapatkan bungkusan kertas berisi makanan bekas, kotor dan dengan cepat dilahapnya sambil berjalan ditengah trotoar. Nikmat melihatnya, masuk ke badan yang kurus, gelap, kumal  yang entah berapa lama tidak mandi 

    Sempat terfikir, orang gila yang memakan makanan bekas, basi, bau, kotor dan tidak berpengaruh pada kesehatannya. Begitupun masa pandemi ini.

    Dari arah yang berlawanan datang dua orang ibu-ibu bersepeda dan berhenti hendak berfoto dekat sebuah tiang besi bertuliskan jalan Braga.

    Malas melihat tingkahnya. Pantat dan pahanya yang besar, duduk menekan masuk pada sadel sepeda yang tak terlihat. Melihat usianya yang sudah tercium bau-bau tanah. Kemudian dua remaja pengamen datang membawakan sebuah lagu, diiringi gitar kecil yang tidak teratur petikannya, seorang lagi menepuk - nepuk tangan melantunkan lagu yang tidak juga jelas liriknya, sambil menyodorkan tangan meminta - minta pada kedua ibu yang tidak menggubrisnya, merasa terganggu.

    Pengamen tampak kecewa tanpa hasil, kemudian beralih mendekati tiga remaja yang asyik  berfoto.

    "Teh,  semoga cita-citanya menjadi foto model terkabulkan...Amin, " kata seorang pengamen mengambil hati sambil mengulurkan tangan meminta. Tiga remaja itu spontan tertawa mendengarnya. Juga tidak memberi se sen pun.

    Tiba-tiba muncul lagi orang gila kurus tadi yang mengambil makanan dari tong sampah. Ia berjalan ke tengah, wajah yang menakutkan tatapan mata yang tajam, rambut panjang menggumpal kotor, lalu berhenti melakukan gerakan tangan memukul ke bawah dengan ekspresi sesungguhnya.

    Ibu-ibu dan tiga remaja berhenti berfoto, ketakutan lari bersandar di pinggir bangunan yang tutup.

    Pria yang malang, orang menyebutnya "Gila"
    Rumah sakit jiwa penuh oleh mereka secara kuantitas, beban hidup yang berat dipikulnya... stress. Sementara perempuan - perempuan banyak berfoto-foto.

    Aku mengangkat tangan, "Ya Allah, apa yang kulihat, banyak yang aku belum mengerti. Kau telah katakan, Setiap yang bernyawa, sudah ditentukan rizkinya".

    Bandung, Desember 2020

    Deddy Syarif

    Tukang Foto Keliling

    bandung braga eddy syarif
    Tony Rosyid

    Tony Rosyid

    Artikel Sebelumnya

    Ozkan, sahabat dari Istanbul

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Merah Putih, Bukan Abu-Abu, Sekarang Saatnya Indonesia Berani Jadi Benar
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan dan Paradoks Kebijakan
    Hendri Kampai: Negara Gagal Ketika Rakyat Ditekan dan Oligarki Diberi Hak Istimewa
    Hendri Kampai: Pemimpin Inlander Selalu Bergantung pada Asing

    Ikuti Kami